Puncak Terus 'Diperkosa', WALHI Jawa Barat Bakal Class Action Pemerintah
BogorZoneNews - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat, Wahyudin menegaskan, pihaknya tidak akan berdiam diri dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan pemerintah, terkait pengabaian amanat berbagai payung hukum terkait lingkungan hidup mau pun tata ruang.
Pasalnya, karena dugaan pengawasan, penindakan dan penegakan hukum tidak optimal, maka mengakibatkan kawasan Puncak terus 'Diperkosa'.
"Bagi kami dugaan pengabaian amanat berbagai payung hukum yang dilakukan pemerintah itu adalah sebuah pelanggaran. Maka rakyat mempunyai hak atau bisa meminta pertanggungjawaban negara atau pemerintah. Karena itu, kami tidak menutup kemungkinan untuk melakukan Class Action," tegas Kang Iwang, Senin, 16 Oktober 2023.
Hal itu ditegaskan Kang Iwang, sapaan akrabnya kepada BogorZoneNews.com, saat dikonfirmasi terkait kondisi kawasan Puncak, yang kini terus 'Diperkosa', yang diduga dilakukan sejumlah oknum pengusaha termasuk oknum kalangan birokrat.
Disebutkan juga, Class Action, meminta pertanggungjawaban negara atau pemerintah terhadap pengelolaan sumber daya alam, termasuk hak rakyat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia.
Karena telah diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahkan, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), pasal 1 ayat (2) disebutkan, UUPPLH adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran, dan atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
"Selain itu, dalam UUPPLH juga disebutkan, masyarakat yang memperjuangkan hak asasi atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu, tidak bisa dituntut pidana maupun perdata. Itu terdapat dalam pasal 66 UUPPLH," jelasnya.
Jawa Barat Daerah Rawan Bencana
Disebutkannya, Jawa Barat merupakan daerah yang rawan bencana. Namun hal itu dikesampingkan dengan adanya rencana 32 pembangunan project strategis nasional, yang dipaksakan dengan mengabaikan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
"Jauh lebih dari itu juga tidak mengedepankan kepentingan keberlangsungan lingkungan setempat. Padahal, di sisi lain Jawa Barat sebagai daerah rawan bencana. Seharusnya itu menjadi pertimbangan yang sangat penting," sebutnya.
Menurutnya, saat ini, banyak Peraturan Presiden atau Perpres yang dikeluarkan di era Presiden Joko Widodo, yang stratanya terkesan lebih tinggi dari Undang-Undang yang juga diterbitkan oleh pemerintah.
"Seharusnya, kebijakan yang dibuat itu harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan yang tersisa di Provinsi Jawa Barat," tuturnya.
Akal-akalan Pemerintah
Lantaran itu dengan kondisi kawasan Puncak yang semakin masiv dirubah bahkan dirusak ekosistem lingkungannya, dengan dalih menjadi lahan lapangan kerja baru atau percepatan pertumbuhan perekonomian masyarakat.
Kang Iwang menilai, dalih atau narasi tersebut hanya akal-akalan pemerintah menuju kerusakan lingkungan. Karena tidak mengakomodir atau mengamanatkan kepentingan rakyat.
"Hal tersebut hanya mengamankan dan mengakomodir kepentingan para pengusaha. Diantaranya di bidang wisata dengan mengklaim ramah lingkungan, yang faktanya mengalihfungsikan kawasan Puncak, yang tentunya berdampak negatif bagi lingkungan. Misalnya, karena banyak pembukaan atau perambahan lahan itu menyebabkan terjadinya pelepasan emisi karbon, efek rumah kaca, yang bermuara terhadap perubahan iklim. Jadi tidak heran kalau saat ini di Puncak, Bogor sudah tidak lagi sejuk, tidak lagi dingin. Karena sudah terjadinya peningkatan temperatur," jelas Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat.
Temperatur Puncak Meningkat
Perlu diketahui publik, saat ini temperatur siang hari di kawasan Puncak, sudah mencapai 30⁰ Celcius. Padahal, sebelumnya berkisar 17-21⁰ Celcius. Bahkan temperatur malam hari yang biasa maksimalnya di kisaran 17-19⁰ Celcius, kini mencapai 23-25⁰ Celcius, sehingga warga bila istirahat atau tidur harus membuka pakaian atau menggunakan kipas angin. Karena jarang rumah warga di kawasan Puncak, khususnya di wilayah Cisarua yang memiliki atau memasang pendingin ruangan alias Air Condition.
"Sangat diamini sekali, bahwa perubahan atau peningkatan temperatur itu disebabkan dari aktivitas yang mengalihfungsikan kawasan Puncak," ujarnya.
Lantaran itu ditegaskannya, kondisi di kawasan Puncak saat ini sudah krodit. Karena pemerintah memproyeksikan serta memperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur).
Perpres tersebut merupakan pengganti Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 114 Tahun 1999, tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur.
Selain itu juga Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Bogor‑Puncak‑Cianjur.
Sehingga, dengan diterbitkannya Perpres No. 54 tahun 2008 tersebut, dinilainya hanya untuk mengakomodir bisnis-bisnis wisata, bukan untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
"Makanya trend kerusakan ini tidak sebanding lurus dengan laju pemulihan lingkungan. Terbukti, bahwa Undang-Undang itu melegitimasi untuk terjadinya perubahan alih fungsi kawasan Puncak, yang bentang alamnya mengalami perubahan drastis," pungkas Kang Iwang.
Legitimasi Perusakan Lingkungan
Lebih lanjut dikatakannya, selain diterbitkannya Perpres tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, ternyata juga diperkuat dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
"Yang mengamanatkan bagaimana Tata Ruang itu harus mengacu terhadap amanat Undang-Undang Cipta Kerja. Yang di dalamnya itu hanya mengakomodir pengusaha-pengusaha di berbagai bidang, termasuk wisata, vila, properti dan lain sebagainya. Maka tidak heran kalau kawasan-kawasan Perhutani, TNGP dan PTPN VIII Gunung Mas menggunakan dua skema. Yaitu, skema kemitraan dan Kerjasama Operasional (KSO)," katanya.
Disebutkannya, KSO itu dilegitimasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sehingga, berdampak terhadap alih fungsi kawasan Puncak.
"Itu sama juga melegitimasi perusakan kawasan bukan pemulihan. Karena bila pemerintah pusat sampai tingkat daerah komitmen, bagaimana keberlangsungan lingkungan? Seharusnya kebijakan yang dibuat itu menjaga, merawat, serta melestarikan dan memulihkan kawasan yang berpotensi terancam rusak," sebutnya.
Diungkapkannya, legitimasi perusakan lingkungan itu terbukti dengan semakin luwes dan mudahnya proses perizinan yang harus ditempuh.
Sehingga menghilangkan partisipasi masyarakat dengan adanya sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS).
"Hal-hal macam itu menjauhkan hak-hak rakyat, atau relasi manusia dengan alamnya. Tentunya ini bagi kami sangat keliru sekali," tandas Wahyudin. ***
Penulis: Deddy Blue
Editor: Deddy Blue